Selasa, 31 Agustus 2010

Manajemen Akuntabilitas Keuangan Daerah: Antara Akuntabilitas, Akuntansi, dan Opini Laporan Keuangan

Selengkapnya...

Manajemen Akuntabilitas Keuangan Daerah: Antara Akuntabilitas, Akuntansi, dan Opini Laporan Keuangan

Selengkapnya

Manajemen Akuntabilitas Keuangan Daerah: Antara Akuntabilitas, Akuntansi, dan Opini Laporan Keuangan

Manajemen Akuntabilitas Keuangan Daerah: Antara Akuntabilitas, Akuntansi, dan Opini Laporan Keuangan

Antara Akuntabilitas, Akuntansi, dan Opini Laporan Keuangan

Saya awali dari yang sederhana tentang akuntabilitas. Wikipedia lugas mengulas dengan kata kunci 'accountibility'. Menurutnya, akuntabilitas adalah konsep etika dan tata kelola dengan banyak arti. Saya suka istilah 'etika' dan 'tata kelola' karena pembahasan blog ini akan berpegang pada kedua kata itu.

Lanjutnya, akuntabilitas sering disamakan dengan pertanggungjawaban, kemampuan menjawab, kelayakan, atau berbagai istilah yang terkait dengan 'pemberian sesuatu'. Dalam hal kepemimpinan, akuntabilitas adalah sebuah otoritas untuk 'melakukan', 'melaporkan', dan 'mempertanggungjawabkan' suatu 'tindakan'.

Wikipedia menunjukkan kondisi akuntabilitas secara sederhana. Menurutnya, ini hanya sebuah hubungan 'imbal balik', atau 'memberi dan menerima'. Misalnya, A dikatakan akuntabel kepada B jika A berkewajiban menginformasikan segala tindakannya kepada B, baik tindakan yang meningkatkan harkat hidup mereka maupun tindakan yang menyebabkan mereka harus menanggung suatu konsekuensi kesalahan. Dan bagian terakhir ini yang saya suka, bahwa tidak ada akuntabilitas tanpa 'akuntansi'.

Cukup ringkas, tegas, dan menunjukkan kesemrawutan pemahaman saya dan saudara mungkin. Konsep ini cukup mengakomodasi praktik sehari-hari pemerintah daerah. Bahwa rakyat mempercayakan sebuah otorisasi kepada pemerintah daerah untuk bertindak meningkatkan harkat hidup mereka (rakyat dan pemerintah), dan pemerintah daerah jangan segan-segan melaporkan hambatan yang terjadi secara internal dan eksternal.

Akuntansi adalah bahasa komunikasi laporan antara rakyat dan pemerintah daerah. Pertanyaannya, mengapa harus 'akuntansi'? Jika diumpamakan bahasa lisan dunia, mengapa seringkali menggunakan 'bahasa inggris' sebagai bahasa dunia? Mengapa bukan 'bahasa indonesia' atau 'bahasa arab'? Mungkin bijak juga menjawab pertanyaan ini dengan pertanyaan lagi. Apakah ada bahasa selain bahasa inggris yang strukturnya sesederhana bahasa inggris? Apakah ada bahasa dunia lainnya yang tidak mengenal tingkat/status pembicara seperti bahasa inggris? Ringkasnya, tolong usulkan bahasa laporan selain 'akuntansi' yang metode bacanya (standar akuntansi) relatif seragam di seluruh dunia! Jika tidak ada, maka mau tidak mau setiap rakyat dan pemerintah daerah wajib mempelajari 'akuntansi' karena inilah bahasa yang di-klaim paling sederhana dan mudah dibaca.

Sebenarnya ada satu keunggulan 'akuntansi': valuable (dapat dinilai). Secara implisit, akuntabilitas tidak sekedar komunikasi rakyat dan pemerintah. Lebih dari itu, komunikasi perlu jaminan bahwa informasi yang dilaporkan adalah andal, dapat dipercaya, dan relevan. Akuntansi adalah bahasa komunikasi yang dapat dinilai keandalan, tingkat kepercayaannya, dan tingkat relevansinya. Tentu tidak adil jika salah satu diantara rakyat atau pemerintah yang menilai. Perlu mediasi oleh pihak luar untuk menilai kualitas informasi akuntansi.

Auditor adalah pihak luar penilai kualitas informasi akuntansi. Dengan keahlian yang distandarisasi, auditor menjamin kualitas informasi akuntansi dalam 3 tingkat: Wajar, Wajar Kecuali, dan Tidak Wajar. Namun ada kalanya auditor tidak dapat memberikan penilaian atas informasi akuntansi karena suatu alasan. Walaupun demikian, auditor tetap harus menyatakan sikapnya bahwa 'tidak dapat memberikan pendapat'. Penilaian auditor ini sering disebut dengan 'opini'.

Senin, 30 Agustus 2010

Implementasi Akuntabilitas di Indonesia

Konsep akuntabilitas di Indonesia memang bukan merupakan hal yang baru. Hampir seluruh instansi dan lembaga-lembaga pemerintah menekankan konsep akuntabilitas ini khususnya dalam menjalankan fungsi administratif kepemerintahan. Ketidakmampuan menerapakna konsep akuntabilitas secara konsisten di setiap lini kepemerintahan merupakan salah satu penyebab lemahnya birokrasi sehingga mengakibatkan munculnya berbagai penyimpangan pengelolaan keuangan dan administrasi negara di Indonesia.

UNDP menegaskan bahwa prinsip-prinsip good governance antara lain terdiri dari partisipasi, ketaatan hukum, transparansi, responsif, berorientasi kesepakatan, kesetaraan, efektif dan efisien, akuntabilitas dan visi stratejik. Inggris di era John Major dan Toni Blair memasyarakatkan akuntabilitas dengan menyusun Output and Performance Analysis (OPA Guidance) atau pedoman tresuri kepemerintahan dan Guidence on Annual Report yang berisikan petunjuk dalam menyusun laporan tahunan entitas. Disamping itu pemerintah Inggris menetapkan gagasan tentang Public Services for The Future: Modernisation, Reform, Accountability yang intinya adalah setiap keputusan hendaknya jangan hanya berorientasi pada berapa banyak pengeluaran dan atau penyerapan dana untuk tiap area, tetapi juga mengenai peningkatan jasa yang diberikan dan perbaikan-perbaikan.

Jerman sebagai negara yang berbentuk federasi menggunakan metode keterlibatan pusat (central involvement). Keterlibatan pusat terbatas pada masalah kepegawaian, teknologi informasi dan hal-hal keuangan. Pola Jerman ini menunjukkan setiap tingkat pemerintahan wajib melaksanakan akuntabilitas kepada parlemen di tingkat masing-masing. Akuntabilitas dapat dilakukan secara komprehensif apabila turut ditunjang oleh
tingkat independen operasional yang tinggi.

Di Indonesia, salah satu bentuk pelaksanaan akuntabilitas Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (AKIP) Kementerian/Lembaga yang diatur oleh Inpres No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Inpres ini menginstruksikan setiap instansi pemerintah wajib menerbitkan Laporan Akuntabilitas Kinerja (LAK) pada akhir tahun. LAK berisi pertanggungjawaban kegiatan dalam rangka mencapai visi dan misi organisasi.

Wujud lain implementasi akuntabilitas di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara pasal 14 ayat (2) yang menyatakan bahwa instansi pemerintah diwajibkan menyusun rencana kerja dan anggaran berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai. Pasal ini menunjukkan adanya hubungan antara kinerja dan anggaran pemerintah (APBN dan APBD). Dengan kata lain, setiap pengeluaran uang harus menyumbang kemajuan langkah mencapai visi misi dan tujuan organisasi.

Namun demikian, impelementasi konsep akuntabilitas di Indonesia bukan tanpa hambatan. Rendahnya standar kesejahteraan memicu pegawai untuk melakukan penyimpangan guna mencukupi kebutuhannya dengan melanggar azas akuntabilitas. Faktor karakter seperti kebiasaan mendahulukan kepentingan keluarga dan kerabat dibanding pelayanan kepada masyarakat dan lemahnya sistem hukum di bidang keuangan dan administrasi merupakan jenis kendala lain dalam implementasi akuntabilitas di Indonesia.

Semua hambatan tersebut pada dasarnya akan dapat terpecahkan jika pemerintah dan seluruh komponennya memiliki pemahaman yang sama akan pentingnya implementasi akuntabilitas disamping faktor moral hazard individu pelaksana untuk menjalankan kepemerintahan secara amanah.

diolah dari:

Kamis, 26 Agustus 2010

Pengertian Akuntabilitas

Akuntabilitas secara harfiah dalam bahasa inggris biasa disebut dengan accoutability yang diartikan sebagai “yang dapat dipertanggungjawabkan”. Atau dalam kata sifat disebut sebagai accountable. Lalu apa bedanya dengan responsibility yang juga diartikan sebagai “tanggung jawab”. Pengertian accountability dan responsibility seringkali diartikan sama. Padahal maknanya jelas sangat berbeda. Beberapa ahli menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan birokrasi, responsibility merupakan otoritas yang diberikan atasan untuk melaksanakan suatu kebijakan. Sedangkan accountability merupakan kewajiban untuk menjelaskan bagaimana realisasi otoritas yang diperolehnya tersebut.

Berkaitan dengan istilah akuntabilitas, Sirajudin H Saleh dan Aslam Iqbal berpendapat bahwa akuntabilitas merupakan sisi-sisi sikap dan watak kehidupan manusia yang meliputi akuntabilitas internal dan eksternal seseorang. Dari sisi internal seseorang akuntabilitas merupakan pertanggungjawaban orang tersebut kepada Tuhan-nya. Sedangkan akuntabilitas eksternal seseorang adalah akuntabilitas orang tersebut kepada lingkungannya baik lingkungan formal (atasan-bawahan) maupun lingkungan masyarakat.

Deklarasi Tokyo mengenai petunjuk akuntabilitas publik menetapkan pengertian akuntabilitas yakni kewajiban-kewajiban dari individu-individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber-sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban fiskal, manajerial, dan program.
Ini berarti bahwa akuntabilitas berkaitan dengan pelaksanaan evaluasi (penilaian) mengenai standard pelaksanaan kegiatan, apakah standar yang dibuat sudah tepat dengan situasi dan kondisi yang dihadapi, dan apabila dirasa sudah tepat, manajemen memiliki tanggung jawab untuk mengimlementasikan standard-standard tersebut.

Akuntabilitas juga merupakan instrumen untuk kegiatan kontrol terutama dalam pencapaian hasil pada pelayanan publik. Dalam hubungan ini, diperlukan evaluasi kinerja yang dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pencapaian hasil serta cara-cara yang digunakan untuk mencapai semua itu. Pengendalian (control) sebagai bagian penting dalam manajemen yang baik adalah hal yang saling menunjang dengan akuntabilitas. Dengan kata lain pengendalian tidak dapat berjalan efisien dan efektif bila tidak ditunjang dengan mekanisme akuntabilitas yang baik demikian juga sebaliknya.

Media akuntabilitas yang memadai dapat berbentuk laporan yang dapat mengekspresikan pencapaian tujuan melalui pengelolaan sumber daya suatu organisasi, karena pencapaian tujuan merupakan salah satu ukuran kinerja individu maupun unit organisasi. Tujuan tersebut dapat dilihat dalam rencana stratejik organisasi, rencana kinerja, dan program kerja tahunan, dengan tetap berpegangan pada Rencana Jangka Panjang dan Menengah (RJPM) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Media akuntabilitas lain yang cukup efektif dapat berupa laporan tahunan tentang pencapaian tugas pokok dan fungsi dan target-target serta aspek penunjangnya seperti aspek keuangan, aspek sarana dan prasarana, aspek sumber daya manusia dan lain-lain.


sumber:
http://blogs.depkominfo.go.id/itjen/2008/12/19/konsep-tentang-akuntabilitas-dan-implementasinya-di-indonesia/

Senin, 16 November 2009

Pusat Tidak Dukung Daerah

Sudah sejak jaman Manual Keuangan Daerah (makuda) pemerintah pusat memberikan kewenangan penuh kepada setiap Provinsi/Kabupaten/Kota (selanjutnya disebut daerah). Pusat tidak sekedar omong kosong tapi ditunjukkan dengan contoh nyata. Contoh yang paling mudah adalah dengan penerbitan formulir-formulir isian pertanggungjawaban keuangan daerah. Ada formulir buku besar penerimaan (B4) atau buku besar pengeluaran (B5). Pusat tidak lupa mencantumkan kata 'contoh' di sudut kanan pada setiap formulir tersebut.

Permasalahannya dimulai dari 'contoh' ini. Dengan lugunya, daerah mencantumkan pula kata 'contoh' pada setiap formulir yang dicetaknya masing-masing. Jadi, mana formulir yang asli kalau semua hanya 'contoh'. Metode ini terbawa terus sampai kemunculan peraturan perundangan turunan seperti berbagai permendagri. Lebih dahsyat lagi, permendagri pertama setelah makuda (29/2002) tidak hanya mengatur formulir tapi juga mengubah kode rekening dan kode akun. Daerah semakin kelabakan menghadapi gempuran mendadak seperti itu. Tidak cukup 5 tahun untuk memperbaiki sistem yang terlanjur 'cinta' dengan sistem lawas.

Hingga akhirnya pusat merasa kapok dengan berbagai peraturan perundangan keuangan daerah yang dibuatnya sendiri. Kebablasan dengan melahirkan peraturan tanpa terintegrasi satu dengan lainnya akhirnya keluarlah peraturan pengikat yaitu PP 58 tahun 2005. PP ini seakan penebus rasa bersalah pusat dengan mengembalikan esensi hubungan keuangan pusat daerah ke khittah asalnya, yaitu khittah Soeharto dengan makuda-nya. Khittah makuda yang menjadi tulang punggung PP ini adalah khittah 'contoh'.

PP mengisyaratkan daerah kembali pada kebutuhannya masing-masing. Kebutuhan yang telah dirumuskan secara otomatis akan menciptakan jenis formulir yang diperlukan. Pusat sepertinya paham benar akan pluraritas daerah. Oleh karenanya pusat tidak mendikte secara kaku tentang teknis perumusan kebutuhan termasuk kebutuhan pertanggungjawaban keuangan daerah. Pusat hanya meminta keseragaman penyajian. Bukan keseragaman cara penyajiannya. Andaikata pusat minta dimasakkan soto ayam, maka daerah dipersilakan menggunakan berbagai cara untuk menghasilkan soto ayam. Mau kuahnya dibuat terlebih dahulu boleh saja. Mau ayamnya direbus atau dipresto ya terserah. Prinsipnya, soto ayam yang tersaji, bukan soto sapi, apalagi soto kuda.

Prinsip, dan bukan cara, diwujudkan dengan PP selanjutnya yaitu PP Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). SAP meminta daerah menyajikan akuntabilitas yang dapat dibaca semua pihak yang berkepentingan. SAP adalah cara baca pertanggungjawaban keuangan daerah. Setiap orang akan membaca Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LPKD) dengan persepsi yang sama apabila memiliki alat penerjemah yang sama yaitu SAP. Analoginya mudah saja. Apa yang kita ucapkan apabila kita disodorkan huruf 'A'. Apakah kita akan membacanya 'B'. Pertanyaannya kemudian, mengapa ketika disodorkan huruf 'A' kita dapat mengucapkan bunyi yang sama? Nah, SAP adalah huruf 'A'. Sedangkan sistem akuntabilitas yang diwujudkan dengan berbagai formulir adalah cara menggambar huruf 'A'. Andaikata huruf 'A' digambar dalam bentuk lain seperti: 'A'; 'A'; atau 'A', akan mengubah bunyi yang dikeluarkan. Tentu tidak. Oleh karena itu, pemerintah pusat tetap kembali ke khittah awal yaitu silakan susun sistemnya sendiri asalkan sesuai dengan SAP.

Dirangkum menjadi satu, usaha pemerintah mengembalikan khittah sudah dilakukan sejak tahun 2005. Tidak tinggal diam begitu saja, pemerintah pusat membantu menerbitkan beberapa peraturan pembantu sebagai 'contoh'. Namun ternyata daerah memiliki penangkapan yang berbeda. Lebih suka disodori daripada diminta menyusun sendiri.

Ada satu analisis yang terlewatkan. Daerah butuh pemahaman bukan contoh. Daerah tahu hasil hitung 1+1 adalah 2. Tapi daerah tidak paham mengapa harus menghitung 1+1. Daerah juga belum paham apakah harus 1+1, bagaimana bila daerah menghitung 0,5+0,5 atau 2+2. Sejak tahun 2005 pusat memberikan sosialisasi teknis, bukan mengapa-nya. Maka wajar bila sampai 5 tahun berikutnya daerah tetap menunggu kelanjutan teknis keuangan daerah.

Bukan tambahan peraturan lagi yang dibutuhkan daerah, tapi pernyataan pusat secara tertulis bahwa daerah dipersilakan memahami suatu esensi keuangan daerah yaitu SAP dan sistem akuntansi. Jika tidak, maka sama saja bahwa pusat tidak mendukung daerah.